PENGEMBANGAN
KESADARAN LINGKUNGAN DENGAN
Oleh:
Nyanasuryanadi
A. Pendahuluan
Perlindungan lingkungan adalah salah satu dari permasalahan
mendesak yang dihadapi umat manusia hingga saat ini. Semua ilmuwan, ahli
ekonomi, ahli filsafat, peneliti (melalui surat kabar, televisi, radio, dan
lain-lain) menunjukkan tanda-tanda serius dampak zat beracun yang kurang baik
atas lingkungan hidup manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. Ironisnya
perilaku demikian belum menumbuhkan kesadaran bagi manusia untuk memahami
pentingnya menjaga kelestarian lingkungan secara utuh. Resiko yang mengancam
lingkungan merupakan pelajaran yang lengkap dan berharga bagi kehidupan
manusia, sebagai upaya untuk mencegah atau meminimalkan polusi, pada skala
lokal maupun nasional.
Permasalahan lingkungan hidup merupakan permasalahan
komplek, yang dalam penanggulangannya diperlukan keseriusan dan partisipasi
dari seluruh unsur-unsur yang terkait di dalamnya. Mencermati kondisi demikian
diperlukan adanya suatu pola pengaturan peranan yang tepat dan proporsional
antara unsur-unsur pelaku kebijakan lingkungan hidup, yakni antara unsur
pemerintah, pengusaha, tokoh agama, dan masyarakat. Selain daripada itu peran
serta para ilmuwan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan riil dalam masalah
lingkungan.
Bagaimana kesesuaian antara kehidupan manusia dengan
lingkungannya, Buddha mengumpamakan peningkatan kesejahteraan sebagai jalannya
kereta beroda empat. Dengan memiliki empat roda kemakmuran, manusia (dan dewa)
akan hidup makmur atau sukses. Roda pertama, tempat tinggal yang sesuai,
menyangkut lingkungan fisik dan non-fisik dalam arti yang seluas-luasnya;
Kedua, pergaulan dengan orang-orang yang mulia; Ketiga, mengarahkan atau
menyesuaikan dan menempatkan diri secara benar; Keempat, adanya timbunan jasa
kebajikan (A.II.31).
Menyadari betapa pentingnya menjaga dan melestarikan
lingkungan hidup merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Pada artikel ini dipaparkan bagaimana mengembangkan kesadaran terhadap
lingkungan hidup dengan pendekatan agama Buddha?
B. Wawasan Buddhis Terhadap Kesatuan
Lingkungan
Pandangan
Buddhis mengenai lingkungan tercermin dari ayat suci ini: "bagai seekor
lebah yang tidak merusak kuntum bunga, baik warna maupun baunya, pergi setelah
memperoleh madu, begitulah hendaknya orang bijaksana mengembara dari desa ke
desa" (Dhp. 49). Dalam ekosistem, lebah tidak hanya mengambil
keuntungan dari bunga, tetapi juga sekaligus membayarnya dengan membantu
penyerbukan. Perilaku lebah memberi inspirasi, bagaimana seharusnya menggunakan
sumber daya alam yang terbatas (Wijaya-Mukti, 2004:418).
Membedakan
sesuatu yang hidup dari benda mati, tetapi menurut prinsip saling bergantungan
pada kehidupan mengandung unsur-unsur yang tidak hidup. Apabila meneliti ke
dalam diri sendiri, akan melihat bahwa manusia memerlukan dan memiliki mineral
atau unsur anorganik lainnya. Ujar Thich Nhat Hanh (Wijaya-Mukti, 2004:419),
jangan berpikir benda-benda ini tidak hidup. Atom selalu bergerak, elektron pun
bergerak. Manusia adalah bagian integral dari keseluruhan masyarakat dan alam
semesta. Muncul dari alam, dipelihara oleh alam, dan kembali ke alam. Thich
mengatakan dalam kehidupan lampau adalah tumbuh-tumbuhan, dan bahkan dalam
kehidupan ini terus menjadi pohon-pohon. Tanpa pohon-pohon, tidak dapat punya
orang, oleh karena itu, pohon-pohon dan orang-orang berada dalam tali-temali.
Manusia bagaikan pohon dan udara, belukar dan awan. Bila pepohonan tidak dapat
hidup, manusia tidak dapat hidup pula. Ada kontinuitas dari dunia dalam dan
dunia luar, dan dunia adalah "diri-luas" (large-self). Manusia
harus menjadi "diri-luas" tersebut dan peduli terhadapnya. Memandang
sehelai kertas, melihat hal-hal lain pula, awan, hutan, penebang kayu. Saya
ada, maka itu Anda ada. Anda ada, maka itu saya ada. Manusia saling
tali-temali, itulah tatanan antar makhluk.
Agganna-sutta
meriwayatkan hubungan timbal-balik antara perilaku manusia dan evolusi
perkembangan tumbuh-tumbuhan. Jenis padi (sali) yang pertama dikenal
berupa butiran yang bersih tanpa sekam. Padi dipetik pada sore hari, berbuah
kembali keesokan harinya. Dipetik pagi-pagi, berbutir masak kembali di sore
hari. Semula manusia mengumpulkan padi secukupnya untuk sekali makan. Kemudian
timbul dalam pikiran manusia, bukankah lebih baik mengumpulkan padi yang cukup
untuk makan siang dan makan malam sekaligus? Pikiran berikutnya yang timbul
mudah diterka - lebih baik lagi kalau dikumpulkan untuk dua hari, empat hari,
delapan hari, dan seterusnya. Sejak itu manusia mulai menimbun padi. Padi yang
telah dituai tidak tumbuh kembali. Maka, akibat keserakahannya, manusia harus
menanam dan menunggu cukup lama hingga padi yang ditanamnya berbuah.
Batang-batang padi mulai tumbuh berumpun. Lalu butir-hutir padi pun berkulit
sekam (D. III. 88-90).
Sikap yang
terpusat pada diri manusia dan anggapan bahwa dunia ini disediakan untuknya
saja tidak membuat hidup manusia menjadi lebih baik. Individualisme dan
kapitalisme ataupun lawannya sosialisme dan komunisme membayar kemajuan duniawi
dengan permasalahan lingkungan. Lingkungan hidup menjadi tidak terpelihara
rusak dan justru mengancam kehidupan manusia sendiri. Hal itu terjadi karena
kehidupan non-materi atau kemajuan rohani tidak memperoleh tempat yang wajar.
Falsafah hidup Buddhis menghendaki keseimbangan antara pemenuhan kepentingan
materi dan spiritual. Keseimbangan hidup semacam itu, menurut Cakkavatti-sihanada-sutta,
sekalipun kepadatan penduduk bertambah karena tingkat kematian menurun atau
harapan hidup manusia meningkat, manusia masih dapat cukup makan (D.Ill.75).
Buddha
mendekati lingkungan alam dan hubungan manusia yang alami dilukiskan dalam
kitab suci berguna untuk menciptakan suatu atmosfir menyenangkan dalam
kehidupan di atas bumi, Buddhisme menunjukkan cara pemecahan masalah krisis
lingkungan. Sehubungan dengan pengamatan ekologis Buddhis memperkuat sikap
ramah kepada alam dan meneliti hubungan tumbuh-tumbuhan, orang, dan binatang
satu sama lain dari sudut persahabatan dan keselarasan.
Tiga peristiwa
utama menyangkut kehidupan Buddha, kelahiran, penerangan, dan kematian,
mengambil tempat di bawah pohon terbuka. Buddha menasehatkan kepada biarawan
untuk mencari-cari tempat yang luas di tengah hutan dan kaki pohon untuk
praktek meditasi. Udara menyenangkan, tenang dalam suatu lingkungan alami dipertimbangkan
sebagai sarana untuk pertumbuhan spiritual.
Perhatian
Buddha untuk hutan dan pohon digarisbawahi dalam Vanaropa Sutta (S.I.32)
di mana konon penanaman kebun (aramaropa) dan hutan (vanaropa)
adalah tindakan yang berjasa, menganugerahkan jasa siang malam sebagai
penolong. Dengan jelas Buddha menimbang rasa bagi aspek hutan dan pohon yang
bermanfaat. 'Vana' atau hutan dalam Dhammapada digunakan oleh
Buddha sebagai perumpamaan kata-kata penuh arti diberlakukan bagi konteks dunia
saat ini: tebanglah hutan (nafsu) sampai habis, jangan tinggalkan satu pohon
pun. Dari hutan itulah tumbuh rasa takut (Dhp.283).
Bagaimanapun,
menanam hutan (vanaropa) berkait dengan konsep menanam hutan, dipahami oleh
ahli ilmu lingkungan hidup, dalam rangka menyelamatkan dunia dari penebangan
hutan dan desertifikasi sebagai akibatnya. Biarawan dilarang dalam vinaya
untuk menebang pohon, kepercayaan populer yang percaya bahwa dalam pohon sedang
hidup organisma. Buddha, meletakkan aturan yang menjelaskan, "kenapa orang
bodoh mengurangi dan menyebabkan yang lain memotong pohon. Tentu saja, orang
percaya bahwa pohon hidup."
Para
bhikkhu tidak memiliki keterikatan pada tempat tinggalnya. Mereka menumpang
sementara di suatu tempat, tetapi menaruh peduli dan merasa harus bertanggungjawab
terhadap tempatnya menumpang. Seperti rombongan bhikkhu yang singgah di lereng
gunung Isigili, membongkar pondok-pondoknya sendiri sebelum melanjutkan
perjalanan. Pondok-pondok itu semula didirikan untuk melewati musim hujan.
Wanita pencari kayu memanfaatkan kayu-kayu bekas bongkaran pondok itu. Bhikkhu
Dhaniya masih tinggal di sana, dan karena pondoknya ikut terbongkar oleh
pencari kayu, membangun pondok dari tanah liat, memakai teknik pembuatan
jambangan keramik yang pemah dipelajari dari ayahnya dulu. Pondok tanah liat
itu berwama merah, karena berasal dari panggangan sejenis serangga. Buddha
mencela perbuatan Dhaniya. Seorang petapa harus melatih dirinya untuk
menghargai kehidupan dalam bentuk sekecil apa pun (Vin.III. 41-42).
Dalam Vinaya Buddha
menetapkan bahwa seorang bhikkhu yang menyebabkan kerusakan pada tanaman
dinyatakan bersalah. Ajaran Buddha mengenai sikap menghormati dan tanpa
kekerasan, tidak hanya berlaku terhadap semua makhluk hidup, tetapi juga
terhadap tumbuh-tumbuhan. Buddha Gotama dan siswa-Nya tidak merusak biji-bijian
yang masih dapat tumbuh dan tidak akan merusak tumbuh-tumbuhan. (D.I.5).
Di musim hujan (Vassa) para bhikkhu melakukan "rakatan dan tidak
melakukan perjalanan menghindari kemungkinan dan menginjak tunas-tunas tanaman
atau mengganggu kehidupan "binatang-binatang kecil yang muncul setelah
hujan (Vin.I.137).
Peradaban
menghendaki hidup ini memanfaatkan sumber alam yang tersedia. Namun karena
hidup manusia bukan benalu, maka ia seharusnya berusaha memulihkan sumber alam
yang telah dipakainya. Schumacher mengatakan setiap pengikut Buddha wajib
menanam sebatang pohon setiap beberapa tahun dan menjaganya sampai
sungguh-sungguh hidup. Orang yang pandai dan bijaksana akan berusaha
meningkatkan kesejahteraan atau mencapai sukses yang sebesar-besamya hanya
dengan menggunakan sumber daya yang minimal, seperti ia meniupkan napasnya
membuat api kecil menjadi besar(Ja.I.123).
Sumber daya
alam yang penting adalah hutan. Hutan dengan segala isinya merupakan sumber
kehidupan. Hutan diperlukan karena menghasilkan bahan baku bagi industri,
tetapi juga merupakan paru-paru dunia. Lebih dari itu, hutan mendapat tempat
yang khusus dalam agama Buddha. Hutan adalah tempat yang menyenangkan, baik
untuk melakukan latihan meditasi. Di sana para petapa yang telah bebas dari
nafsu dan menyukai kcsunyian akan menyepi dan merasa gembira (Dhp 99).
Manusia sangat berkepentingan untuk selalu menjaga kelestarian hutan.
C. Pendekatan Buddha Terhadap Masalah
Lingkungan
Bidang
permasalahan lingkungan, seperti masalah global, penghabisan lapisan ozon,
penebangan hutan, dan pengurangan keanekaragaman makhluk. Permasalahannya
disebabkan oleh pengurangan keanekaragaman makhluk sebagai bagian dari
tantangan terbesar yang dihadapi manusia saat ini. Dampak dari pengurangan
aneka ragam makhluk mempengaruhi ekosistem, dan kehidupan manusia.
Tujuan terakhir
praktek Buddhisme adalah untuk mencapai Ke-Buddhaan, yang mana dalam
terminologi modern berarti untuk menjadi apa yang ideal baik manusia
sebagai Buddha. Praktek dalam Buddhisme ada enam macam praktek untuk mencapai
ke-Buddhaan (sad paramita). Enam macam praktek terdiri dari memberi dana
(dana-paramita), kesempurnaan moral (sila-paramita), kesabaran (ksanti-paramita),
tekun/semangat (virya-paramita), praktek meditasi (dhyana-paramita),
dan kebijaksanaan (prajna-paramita).
Praktek
Buddhisme untuk pemecahan permasalahan lingkungan adalah langsung sesuai dengan
harapan Buddhisme yang mengakibatkan pemindahan rasa sakit dari semua mahluk
hidup. Alat-Alat yang dikembangkan sebagai rencana kegiatan dan norma-norma
etis Buddha didasarkan pada praktek, tidak hanya memimpin ke arah memecahkan
permasalahan lingkungan tetapi juga secara bersamaan memenuhi tujuan Buddhisme.
Permasalahan-permasalahan
seperti penebangan hutan dan komersialisasi, pengembangan daratan dan
penggunaan bahan kimia, managemen perlindungan lingkungan, binatang yang
dipergunakan untuk eksperimen dan makanan. Keadaan ini memerlukan solusi dan
pemecahan yang serious dari berbagai sudut pandang.
Pencapaian
kebijaksanaan (prajna-paramita) menjadi bagian dari enam macam praktek
dimana Bodhisattva mencapai penerangan (sad paramita). Konsep ini
mula-mula menunjuk pencapaian kebijaksanaan absolut (prajna-paramita).
Maksudnya menguji gagasan kebijaksanaan dalam hubungan dengan dua konsep pokok
Buddha sebagai cara untuk memecahkan permasalahan lingkungan. Yaitu hukum sebab
akibat yang saling bergantungan (pratityasamutpada) dan jalan tengah.
Doktrin hukum
sebab akibat mengajarkan bahwa suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Sebagai gantinya ditandai adanya saling behubungan dan saling ketergantungan
pada semua penomena. Konsep pokok dari semua gejala ditandai adanya hubungan
ruang (ontologi) dan waktu (formasi). Lingkungan ekologis saat
ini adalah ruang dan waktu. Tingkah laku manusia yang merusak hubungan
ekosistem, dipertimbangkan sebagai keadaan sakit apabila dihubungkan dengan
konsep hukum sebab-akibat, yaitu: mengganggu hubungan historis dan ekologis,
dengan demikian mengikis kelangsungan hidup itu sendiri.
D. Manajemen Lingkungan dalam Buddhis
Mengenai
manajemen lingkungan di dalam Buddhisme, suatu konsep basis dasar diuraikan
dengan menekankan empat aspek yang berbeda:
1. Buddhisme
menerima kenyataan yang berhubungan dengan hukum alam sebagai basis antara
manusia dan lingkungan; dengan konsep yang disebut "tilakkhana"
atau " tiga karakteristik" (segala sesuatu mengalami perubahan atau
tidak abadi, sesuatu yang berkondisi mengalami bentuk penderitaan/tidak
memuaskan, dan segalanya tanpa inti yang kekal dan abadi).
2. Konsep
pendekatan holistik, berdasar pada pola hubungan yang erat antara lingkungan
dan manusia, dengan demikian adanya saling ketergantungan, yang menjadi dasar
pertimbangan dalam usaha memecahkan permasalahan lingkungan.
3. Suatu konsep
lingkungan berdasar pada "empat kebenaran kulia", yang mana masalah
lingkungan yang akan dipecahkan sesuai dengan aturan yang sistematis:
a. Investigasi
masalah lingkungan.
b. Pemahaman
penyebab masalah dan penyebab atau kunci solusinya.
c. Merealisir
sasaran dengan pemecahan masalah.
d. Suatu
pemahaman benar terhadap cara pemecahan masalah untuk dikembangkan dan diikuti.
4. Konsep
"jalan tengah" ke arah manajemen lingkungan, melalui pelatihan hidup
manusia pada atas tiga aspek inti:
a. pengembangan
dan pelatihan etika/moral lingkungan.
b. pengembangan
dan pelatihan suara hati terhadap lingkungan.
c. pengembangan
dan pelatihan terhadap pemahaman dan kebijaksanaan lingkungan, seperti halnya
pengertian yang mendalam terhadap kenyataan lingkungan.
Ada lima
cara manajemen lingkungan dalam Buddhisme:
1. Menerima
kenyataan alam dan menerapkannya sebagai basis dan tujuan manajemen lingkungan.
2. Mencoba
untuk mempersatukan pengembangan manusia dan manajemen lingkungan dengan
menggunakan pendekatan holistik dengan mempertimbangkan semua faktor-faktor
manajemen yang terkait.
3. Mencoba
untuk bebaskan hidup manusia dari berbagai pengotoran, seperti ketidak-tahuan,
kasih sayang, dan keinginan serta bertindak mempromosikan lingkungan dengan
praktek ajaran Buddha, keduanya adalah ajaran dan disiplin.
4. Suatu sistem
manajemen lingkungan berdasar pada tiga langkah-langkah:
a. Mempelajari
sekitar permasalahan manajemen lingkungan
b.
Mengembangkan sistem manajemen lingkungan.
c. Menemukan
alat-alat untuk mengendalikan dan memeriksa manajemen lingkungan.
5. Manajemen
lingkungan dengan memasukan kehidupan biarawan dan petunjuk menurut aturannya
sehingga menemukan keharmonisan dengan alam.
Ada tiga ukuran
untuk diambil mengenai manajemen lingkungan:
a.
Mengembangkan pemahaman dan kebijaksanaan untuk kebenaran yang menguasai
hubungan antara lingkungan dan manusia.
b. Menanami
lingkungan dengan suara hati dan pikiran.
c. Menanami
etika/moral mengenai lingkungan.
E. Mengembangkan Kesadaran
Terhadap Lingkungan
Kesadaran dalam
melindungi kehidupan dan lingkungan hidup telah dihasilkan sampai saat ini.
Buddhisme telah memperkenalkannya sebagai salah satu hukum dasar utama sekitar
25 abad yang lalu untuk para pengikutnya. Buddhisme sesungguhnya menghadirkan
jalan cinta kasih. Buddha menunjukkan rasa cinta kasihnya secara lengkap
seperti yang terlihat ketika cinta kasih melindungi semua makhluk. Buddha
mengajarkan bahwa bagi yang mengikuti ajaran-Nya perlu mempraktikkan cinta
kasih yang tulus, tidak merugikan semua mahluk, tidak hanya untuk melindungi
umat manusia, tetapi juga untuk melindungi tumbuh-tumbuhan dan binatang. Buddha
dengan kebijaksanaan yang sempurna,melihat semua mahluk di alam semesta adalah
sama secara alami, semua binatang, dan manusia hidup bekerja sama, satu sama
lain menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Lingkungan
eksternal benar-benar terkotori oleh karena itu lingkungan internal
benar dirusak. Ketamakan
telah mendorong umat manusia untuk mencukupi permintaan yang berlebihan, dan
mengambilnya dalam persaingan yang tak ada akhirnya, mendorong ke arah
perusakan diri dan lingkungan. Membandingkan pikiran yang tamak dan tak sehat
dengan semangat hidup sederhana dan dengan puas berlatih seperti yang diajarkan
Buddha.
Hidup dalam
keselarasan bukan berarti penghapusan kebenaran dan pengetahuan, tetapi untuk
tinggal dalam keselarasan dengan semua mahluk dan alam. Pada dasarnya bagi yang
memahami pengajaran Buddha akan membatasi keakuan, untuk tinggal selaras dengan
alam, tanpa merugikan lingkungan. Kemudian akan melihat tingkat mana yang
sebaiknya diteliti dan dilindungi untuk digunakan pada masa datang oleh
generasi berikutnya dan makhluk lain. Keserakhan yang berlebihan untuk memiliki
segalanya bagi dirinya, atau untuk kelompok sendiri, membuat buta. Disiapkan
untuk berkelahi, berperang, menyebabkan kematian, penyakit, kelaparan,
membinasakan semua jenis makhluk hidup, secara berangsur-angsur memperburuk
lingkungan hidup. Mencoba untuk memaksimalkan keuntungan, tanpa terkait dengan
dampak eksplorasi negatif yang mendorong kearah penghabisan sumber alam, melepaskan
zat beracun ke udara, air, bumi, mendorong ke arah polusi lingkungan,
membinasakan keuntungan ekologis.
Banyak vihara
hutan yang didirikan di pegunungan menunjukkan penyesuaian diri yang harmonis
dengan alam,. Hidup tenang dalam hutan membantu praktek ajaran Buddhis untuk
meningkatkan batin, dan pada waktu yang sama, juga melindungi binatang tinggal
di daerah itu. Pengikut Buddha dengan pikiran yang bersikap toleran dan penuh
kasih menyesuaikan diri dengan tumbuh-tumbuhan yang alami, binatang buas di
hutan, dengan keselarasan dan berhubungan timbal balik. Orang menggunakan
oksigen yang sebagian besar dihasilkan oleh pohon, dan sebagai imbalannya,
orang memelihara pohon itu. Binatang buas mungkin datang untuk makan tanaman
panenan yang ditanam oleh vihara tanpa memikirkan resiko untuk dibunuh.
Buddhisme hidup harmonis dengan sepenuhnya, berbeda dari yang kompetitif,
menentang kehidupan dan memberantas alam.
Keyakinan
yang seksama, secara teknis nampak paham lingkungan merupakan suatu ungkapan
efektif pada pandangan hidup Buddha. Mengundang untuk mempertimbangkan lima
hubungan antara praktek dan kesehatan hidup secara umum. Hubungan dengan
kesehatan, konsentrasi, etika, dan kebijaksanaan.
Hubungan dengan
kesehatan: praktek adalah jalan meningkatkan kesehatan pribadi, dan
menghubungkan kesehatan pribadi lingkungan. Praktek Buddha mengarahkan pikiran;
itu sesungguhnya sebagai bentuk kesehatan mental. Kemudian kesehatan mental
berpengaruh terhadap kesehatan phisik. Sedanglah melakukan kesehatan seseorang pribadi
mempimpin tak bisa diacuhkan untuk suatu perhatian dengan kesehatan lingkungan.
Bagaimana kesehatan makanan yang kamu makan, air yang kamu minum, atau
udara yang kamu hirup? sebagian besar jawaban, tergantung pada bagaimana
lingkungan yang sehat. Adalah bukan sukar untuk melihat mengapa orang menjadi
sangat peka terhadap kerusakan lingkungan: perbedaan antara dirimu dan
lingkungan seperti menyesatkan sebagai perbedaan antara mengurus pikiran dan
badan.
Hubungan dengan
konsentrasi, belajar dari diri sendiri, dapat membersihkan pikiran; belajar
dari diri sendiri, dapat membantu makhluk lain. Biarawan Zen berkata praktek
adalah "tidak ada yang khusus"? tidak ada tambahan" Tujuan
belajar Buddhisme bukan untuk belajar Buddhisme, tetapi untuk belajar diri sendiri,"
menurut Shunryu Suzuki, Master Zen dari Jepang. Pertanyaan yang sama menjadi
dasar bekerja pada lingkungan, sebab banyak permasalahan lingkungan sedikitnya
dapat dikurangi ke berbagai pilihan pribadi.
Kesusilaan
adalah penting untuk praktek, dan kesusilaan menuntut suatu perhatian
untuk kesehatan makhluk lain. Buddha menjelaskan delapan usur jalan utama
yaitu pandangan, pikiran, ucapan, perbuatan, pencaharian, usaha,
perhatian, dan konsentrasi yang benar.
Kebijaksanaan
dapat menunjukkan hidup dan hidup dapat menunjukkan kebijaksanaan. Latihan
ini adalah salah satu dari tugas ekologi, studi bagaimana ekosistem
berfungsi. Pemikiran lewat dari sini akan sungguh-sungguh menghasilkan
kebijaksanaan, tetapi bukan jenis kebijaksanaan yang dicari dalam praktek
Buddha. Ekologi, seperti umumnya ilmu pengetahuan lain, analitis, penerangan,
pada sisi lain, cara terbaik diuraikan sebagai intuitif. Tetapi ilmu
lingkungan, dengan memperhatikan hubungan antara hal-hal, yang dibangun semacam
resonansi dari segi pandangan Buddha.
F. Penutup
Pengembangan
kesadaran terhadap lingkungan hidup didasarkan pada sikap mental, sebagai
rangkaian hubungan sebab akibat yang saling bergantungan secara utuh. Melalui
pengembangan batin yang berdasarkan kebijaksanaan, perilaku moral (sila),
konsentrasi, dan belas kasih. Menyadari betapa pentingnya keterkaitan
antara manusia dengan lingkungan secara luas, sehingga manusia tidak
dapat hidup sendiri. Menjaga keseimbangan antara dunia kecil (diri manusia) dan
dunia besar (lingkungan yang luas).
Kepustakaan:
.Gnanarama,
Petagama. 1996.An Approach to Buddhist Social Philosophy.
Singapore:Ti-Sarana Buddhist Association.
Swear, Donal
K,. 1998. Buddhisme and Ecology: Challenge and Promise. Swarthmore
College: Center for Respect of Life and Environment.
Thich Tri
Quang. 1996. Buddhisme and Environmental Protection. (Online), (http://www.saigon.com/~anson/index.htm, diakses 8 Mei
2004)
Wijaya-Mukti,
Krisnanda.2003. Wacana Buddha Dharma. Jakarta: Yayasan Dharma
Pembangunan
http://jurnalnadi.bravehost.com/kesadaran_lingkungan.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar