Rabu, 10 Oktober 2012

PENGEMBANGAN KESADARAN LINGKUNGAN DENGAN PENDEKATAN AGAMA BUDDHA[1] Oleh: Nyanasuryanadi



PENGEMBANGAN KESADARAN LINGKUNGAN DENGAN
PENDEKATAN AGAMA BUDDHA[1]
Oleh: Nyanasuryanadi

A. Pendahuluan
Perlindungan lingkungan adalah salah satu dari permasalahan mendesak yang dihadapi umat manusia hingga saat ini. Semua ilmuwan, ahli ekonomi, ahli filsafat, peneliti (melalui surat kabar, televisi, radio, dan lain-lain) menunjukkan tanda-tanda serius dampak zat beracun yang kurang baik atas lingkungan hidup manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. Ironisnya perilaku demikian belum menumbuhkan kesadaran bagi manusia untuk memahami pentingnya menjaga kelestarian lingkungan secara utuh. Resiko yang mengancam lingkungan merupakan pelajaran yang lengkap dan berharga bagi kehidupan manusia, sebagai upaya untuk mencegah atau meminimalkan polusi, pada skala lokal maupun nasional.
Permasalahan lingkungan hidup merupakan permasalahan komplek, yang dalam penanggulangannya diperlukan keseriusan dan partisipasi dari seluruh unsur-unsur yang terkait di dalamnya. Mencermati kondisi demikian diperlukan adanya suatu pola pengaturan peranan yang tepat dan proporsional antara unsur-unsur pelaku kebijakan lingkungan hidup, yakni antara unsur pemerintah, pengusaha, tokoh agama, dan masyarakat. Selain daripada itu peran serta para ilmuwan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan riil dalam masalah lingkungan.
Bagaimana kesesuaian antara kehidupan manusia dengan lingkungannya, Buddha mengumpamakan peningkatan kesejahteraan sebagai jalannya kereta beroda empat. Dengan memiliki empat roda kemakmuran, manusia (dan dewa) akan hidup makmur atau sukses. Roda pertama, tempat tinggal yang sesuai, menyangkut lingkungan fisik dan non-fisik dalam arti yang seluas-luasnya; Kedua, pergaulan dengan orang-orang yang mulia; Ketiga, mengarahkan atau menyesuaikan dan menempatkan diri secara benar; Keempat, adanya timbunan jasa kebajikan (A.II.31).
Menyadari betapa pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan hidup merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Pada artikel ini dipaparkan bagaimana mengembangkan kesadaran terhadap lingkungan hidup dengan pendekatan agama Buddha?
B. Wawasan Buddhis Terhadap Kesatuan Lingkungan
Pandangan Buddhis mengenai lingkungan tercermin dari ayat suci ini: "bagai seekor lebah yang tidak merusak kuntum bunga, baik warna maupun baunya, pergi setelah memperoleh madu, begitulah hendaknya orang bijaksana mengembara dari desa ke desa" (Dhp. 49). Dalam ekosistem, lebah tidak hanya mengambil keuntungan dari bunga, tetapi juga sekaligus membayarnya dengan membantu penyerbukan. Perilaku lebah memberi inspirasi, bagaimana seharusnya menggunakan sumber daya alam yang terbatas (Wijaya-Mukti, 2004:418).
Membedakan sesuatu yang hidup dari benda mati, tetapi menurut prinsip saling bergantungan pada kehidupan mengandung unsur-unsur yang tidak hidup. Apabila meneliti ke dalam diri sendiri, akan melihat bahwa manusia memerlukan dan memiliki mineral atau unsur anorganik lainnya. Ujar Thich Nhat Hanh (Wijaya-Mukti, 2004:419), jangan berpikir benda-benda ini tidak hidup. Atom selalu bergerak, elektron pun bergerak. Manusia adalah bagian integral dari keseluruhan masyarakat dan alam semesta. Muncul dari alam, dipelihara oleh alam, dan kembali ke alam. Thich mengatakan dalam kehidupan lampau adalah tumbuh-tumbuhan, dan bahkan dalam kehidupan ini terus menjadi pohon-pohon. Tanpa pohon-pohon, tidak dapat punya orang, oleh karena itu, pohon-pohon dan orang-orang berada dalam tali-temali. Manusia bagaikan pohon dan udara, belukar dan awan. Bila pepohonan tidak dapat hidup, manusia tidak dapat hidup pula. Ada kontinuitas dari dunia dalam dan dunia luar, dan dunia adalah "diri-luas" (large-self). Manusia harus menjadi "diri-luas" tersebut dan peduli terhadapnya. Memandang sehelai kertas, melihat hal-hal lain pula, awan, hutan, penebang kayu. Saya ada, maka itu Anda ada. Anda ada, maka itu saya ada. Manusia saling tali-temali, itulah tatanan antar makhluk.
 Agganna-sutta meriwayatkan hubungan timbal-balik antara perilaku manusia dan evolusi perkembangan tumbuh-tumbuhan. Jenis padi (sali) yang pertama dikenal berupa butiran yang bersih tanpa sekam. Padi dipetik pada sore hari, berbuah kembali keesokan harinya. Dipetik pagi-pagi, berbutir masak kembali di sore hari. Semula manu­sia mengumpulkan padi secukupnya untuk sekali makan. Kemudian timbul dalam pikiran manusia, bukankah lebih baik mengumpulkan padi yang cukup untuk makan siang dan makan malam sekaligus? Pikiran berikutnya yang timbul mudah diterka - lebih baik lagi kalau dikumpulkan untuk dua hari, empat hari, delapan hari, dan seterusnya. Sejak itu manusia mulai menimbun padi. Padi yang telah dituai tidak tumbuh kembali. Maka, akibat keserakahannya, manusia harus menanam dan menunggu cukup lama hingga padi yang ditanamnya berbuah. Batang-batang padi mulai tumbuh berumpun. Lalu butir-hutir padi pun berkulit sekam (D. III. 88-90).
Sikap yang terpusat pada diri manusia dan anggapan bahwa dunia ini disediakan untuknya saja tidak membuat hidup manusia menjadi lebih baik. Individualisme dan kapitalisme ataupun lawannya sosialisme dan komunisme membayar kemajuan duniawi dengan permasalahan lingkungan. Lingkungan hidup menjadi tidak terpelihara rusak dan justru mengancam kehidupan manusia sendiri. Hal itu terjadi karena kehidupan non-materi atau kemajuan rohani tidak memperoleh tempat yang wajar. Falsafah hidup Buddhis menghendaki keseimbangan antara pemenuhan kepentingan materi dan spiritual. Keseimbangan hidup semacam itu, menurut Cakkavatti-sihanada-sutta, sekalipun kepadatan penduduk bertambah karena tingkat kematian menurun atau harapan hidup manusia meningkat, manusia masih dapat cukup makan (D.Ill.75).
Buddha mendekati lingkungan alam dan hubungan manusia yang alami dilukiskan dalam kitab suci berguna untuk menciptakan suatu atmosfir menyenangkan dalam kehidupan di atas bumi, Buddhisme menunjukkan cara pemecahan masalah krisis lingkungan. Sehubungan dengan pengamatan ekologis Buddhis memperkuat sikap ramah kepada alam dan meneliti hubungan tumbuh-tumbuhan, orang, dan binatang satu sama lain dari sudut persahabatan dan keselarasan.
Tiga peristiwa utama menyangkut kehidupan Buddha, kelahiran, penerangan, dan kematian, mengambil tempat di bawah pohon terbuka. Buddha menasehatkan kepada biarawan untuk mencari-cari tempat yang luas di tengah hutan dan kaki pohon untuk praktek meditasi. Udara menyenangkan, tenang dalam suatu lingkungan alami dipertimbangkan sebagai sarana untuk pertumbuhan spiritual.
Perhatian Buddha untuk hutan dan pohon digarisbawahi dalam Vanaropa Sutta (S.I.32) di mana konon penanaman kebun (aramaropa) dan hutan (vanaropa) adalah tindakan yang berjasa, menganugerahkan jasa siang malam sebagai penolong. Dengan jelas Buddha menimbang rasa bagi aspek hutan dan pohon yang bermanfaat. 'Vana' atau hutan dalam Dhammapada digunakan oleh Buddha sebagai perumpamaan kata-kata penuh arti diberlakukan bagi konteks dunia saat ini: tebanglah hutan (nafsu) sampai habis, jangan tinggalkan satu pohon pun. Dari hutan itulah tumbuh rasa takut (Dhp.283).
Bagaimanapun, menanam hutan (vanaropa) berkait dengan konsep menanam hutan, dipahami oleh ahli ilmu lingkungan hidup, dalam rangka menyelamatkan dunia dari penebangan hutan dan desertifikasi sebagai akibatnya. Biarawan dilarang dalam vinaya untuk menebang pohon, kepercayaan populer yang percaya bahwa dalam pohon sedang hidup organisma. Buddha, meletakkan aturan yang menjelaskan, "kenapa orang bodoh mengurangi dan menyebabkan yang lain memotong pohon. Tentu saja, orang percaya bahwa pohon hidup."
 Para bhikkhu tidak memiliki keterikatan pada tempat tinggalnya. Me­reka menumpang sementara di suatu tempat, tetapi menaruh peduli dan merasa harus bertanggungjawab terhadap tempatnya menum­pang. Seperti rombongan bhikkhu yang singgah di lereng gunung Isigili, membongkar pondok-pondoknya sendiri sebelum melanjutkan perjalanan. Pondok-pondok itu semula didirikan untuk melewati musim hujan. Wanita pencari kayu memanfaatkan kayu-kayu bekas bongkaran pondok itu. Bhikkhu Dhaniya masih tinggal di sana, dan karena pondoknya ikut terbongkar oleh pencari kayu, membangun pondok dari tanah liat, memakai teknik pembuatan jambangan keramik yang pemah dipelajari dari ayahnya dulu. Pondok tanah liat itu berwama merah, karena berasal dari panggangan sejenis serangga. Buddha mencela perbuatan Dhaniya. Seorang petapa harus melatih dirinya untuk menghargai kehidupan dalam bentuk sekecil apa pun (Vin.III. 41-42).
Dalam Vinaya Buddha menetapkan bahwa seorang bhikkhu yang menyebabkan kerusakan pada tanaman dinyatakan bersalah. Ajaran Buddha mengenai sikap menghormati dan tanpa kekerasan, tidak hanya berlaku terhadap semua makhluk hidup, tetapi juga terhadap tumbuh-tumbuhan. Buddha Gotama dan siswa-Nya tidak merusak biji-bijian yang masih dapat tumbuh dan tidak akan merusak tumbuh-tumbuhan. (D.I.5). Di musim hujan (Vassa) para bhikkhu melakukan "rakatan dan tidak melakukan perjalanan menghindari kemungkinan dan menginjak tunas-tunas tanaman atau mengganggu kehidupan "binatang-binatang kecil yang muncul setelah hujan (Vin.I.137).
Peradaban menghendaki hidup ini memanfaatkan sumber alam yang tersedia. Namun karena hidup manusia bukan benalu, maka ia seharusnya berusaha memulihkan sumber alam yang telah dipakainya. Schumacher mengatakan setiap pengikut Buddha wajib menanam sebatang pohon setiap beberapa tahun dan menjaganya sampai sungguh-sungguh hidup. Orang yang pandai dan bijaksana akan berusaha meningkatkan kesejahteraan atau mencapai sukses yang sebesar-besamya hanya dengan menggunakan sumber daya yang mi­nimal, seperti ia meniupkan napasnya membuat api kecil menjadi besar(Ja.I.123).
Sumber daya alam yang penting adalah hutan. Hutan dengan segala isinya merupakan sumber kehidupan. Hutan diperlukan karena menghasilkan bahan baku bagi industri, tetapi juga merupakan paru-paru dunia. Lebih dari itu, hutan mendapat tempat yang khusus dalam agama Buddha. Hutan adalah tempat yang menyenangkan, baik untuk melakukan latihan meditasi. Di sana para petapa yang telah bebas dari nafsu dan menyukai kcsunyian akan menyepi dan merasa gembira (Dhp 99). Manusia sangat berkepentingan untuk selalu menjaga kelestarian hutan.  
C. Pendekatan Buddha Terhadap Masalah Lingkungan
Bidang permasalahan lingkungan, seperti masalah global, penghabisan lapisan ozon, penebangan hutan, dan pengurangan keanekaragaman makhluk. Permasalahannya disebabkan oleh pengurangan keanekaragaman makhluk sebagai bagian dari tantangan terbesar yang dihadapi manusia saat ini. Dampak dari pengurangan aneka ragam makhluk mempengaruhi ekosistem, dan kehidupan manusia.
Tujuan terakhir praktek Buddhisme adalah untuk mencapai Ke-Buddhaan, yang mana  dalam terminologi modern berarti untuk menjadi apa yang ideal  baik manusia sebagai Buddha. Praktek dalam Buddhisme ada enam macam praktek untuk mencapai ke-Buddhaan (sad paramita). Enam macam praktek terdiri dari memberi dana (dana-paramita), kesempurnaan moral (sila-paramita), kesabaran (ksanti-paramita), tekun/semangat (virya-paramita), praktek meditasi (dhyana-paramita), dan kebijaksanaan (prajna-paramita).
Praktek Buddhisme untuk pemecahan permasalahan lingkungan adalah langsung sesuai dengan harapan Buddhisme yang mengakibatkan pemindahan rasa sakit dari semua mahluk hidup. Alat-Alat yang dikembangkan sebagai rencana kegiatan dan norma-norma etis Buddha didasarkan pada praktek, tidak hanya memimpin ke arah memecahkan permasalahan lingkungan tetapi juga secara bersamaan memenuhi tujuan Buddhisme.
Permasalahan-permasalahan seperti penebangan hutan dan komersialisasi, pengembangan daratan dan penggunaan bahan kimia, managemen perlindungan lingkungan, binatang yang dipergunakan untuk eksperimen dan makanan. Keadaan ini memerlukan solusi dan pemecahan yang serious dari berbagai sudut pandang.
Pencapaian kebijaksanaan (prajna-paramita) menjadi bagian dari enam macam praktek dimana Bodhisattva mencapai penerangan (sad paramita). Konsep ini mula-mula menunjuk pencapaian kebijaksanaan absolut (prajna-paramita). Maksudnya menguji gagasan kebijaksanaan dalam hubungan dengan dua konsep pokok Buddha sebagai cara untuk memecahkan permasalahan lingkungan. Yaitu hukum sebab akibat yang saling bergantungan (pratityasamutpada) dan jalan tengah.
Doktrin hukum sebab akibat mengajarkan bahwa suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebagai gantinya ditandai adanya saling behubungan dan saling ketergantungan pada semua penomena. Konsep pokok dari semua gejala ditandai adanya hubungan ruang (ontologi) dan waktu (formasi). Lingkungan ekologis saat ini adalah ruang dan waktu. Tingkah laku manusia yang merusak hubungan ekosistem, dipertimbangkan sebagai keadaan sakit apabila dihubungkan dengan konsep hukum sebab-akibat, yaitu: mengganggu hubungan historis dan ekologis, dengan demikian mengikis kelangsungan hidup itu sendiri.
D. Manajemen Lingkungan dalam Buddhis
Mengenai manajemen lingkungan di dalam Buddhisme, suatu konsep basis dasar diuraikan dengan  menekankan empat aspek yang berbeda:
1. Buddhisme menerima kenyataan yang berhubungan dengan hukum alam sebagai basis antara manusia dan lingkungan; dengan konsep yang disebut "tilakkhana" atau " tiga karakteristik" (segala sesuatu mengalami perubahan atau tidak abadi, sesuatu yang berkondisi mengalami bentuk penderitaan/tidak memuaskan, dan segalanya tanpa inti yang kekal dan abadi).
2. Konsep pendekatan holistik, berdasar pada pola hubungan yang erat antara lingkungan dan manusia, dengan demikian adanya saling ketergantungan, yang menjadi dasar pertimbangan dalam usaha memecahkan permasalahan lingkungan.
3. Suatu konsep lingkungan berdasar pada "empat kebenaran kulia", yang mana masalah lingkungan yang akan dipecahkan sesuai  dengan aturan yang sistematis:
a. Investigasi masalah  lingkungan.
b. Pemahaman penyebab masalah dan penyebab atau kunci solusinya.
c. Merealisir sasaran dengan pemecahan masalah.
d. Suatu pemahaman benar terhadap cara pemecahan masalah untuk dikembangkan dan diikuti.
4. Konsep "jalan tengah" ke arah manajemen lingkungan, melalui pelatihan hidup manusia pada atas tiga aspek inti:
a. pengembangan dan pelatihan etika/moral lingkungan.
b. pengembangan dan pelatihan suara hati terhadap lingkungan.
c. pengembangan dan pelatihan terhadap pemahaman dan kebijaksanaan lingkungan, seperti halnya pengertian yang mendalam terhadap kenyataan lingkungan.
Ada lima cara  manajemen lingkungan dalam Buddhisme:
1. Menerima kenyataan alam dan menerapkannya sebagai basis dan tujuan manajemen lingkungan.
2. Mencoba untuk mempersatukan pengembangan manusia dan manajemen lingkungan dengan menggunakan pendekatan holistik dengan mempertimbangkan semua faktor-faktor manajemen yang terkait.
3. Mencoba untuk bebaskan hidup manusia dari berbagai pengotoran, seperti ketidak-tahuan, kasih sayang, dan keinginan serta bertindak mempromosikan lingkungan dengan praktek ajaran Buddha, keduanya adalah ajaran dan disiplin.
4. Suatu sistem manajemen lingkungan berdasar pada tiga langkah-langkah:
a. Mempelajari sekitar permasalahan manajemen  lingkungan
b. Mengembangkan sistem manajemen lingkungan.
c. Menemukan alat-alat untuk mengendalikan dan memeriksa manajemen lingkungan.
5. Manajemen lingkungan dengan memasukan kehidupan biarawan dan petunjuk menurut aturannya sehingga menemukan keharmonisan dengan alam.
Ada tiga ukuran untuk diambil mengenai manajemen lingkungan:
a. Mengembangkan pemahaman dan kebijaksanaan untuk kebenaran yang menguasai hubungan antara lingkungan dan manusia.
b. Menanami lingkungan dengan suara hati dan pikiran.
c. Menanami etika/moral mengenai lingkungan.
 E. Mengembangkan Kesadaran Terhadap Lingkungan
Kesadaran dalam melindungi kehidupan dan lingkungan hidup telah dihasilkan sampai saat ini. Buddhisme telah memperkenalkannya sebagai salah satu hukum dasar utama sekitar 25 abad yang lalu untuk para pengikutnya. Buddhisme sesungguhnya menghadirkan jalan cinta kasih. Buddha menunjukkan rasa cinta kasihnya secara lengkap seperti yang terlihat ketika cinta kasih melindungi semua makhluk. Buddha mengajarkan bahwa bagi yang mengikuti ajaran-Nya perlu mempraktikkan cinta kasih yang tulus, tidak merugikan semua mahluk, tidak hanya untuk melindungi umat manusia, tetapi juga untuk melindungi tumbuh-tumbuhan dan binatang. Buddha dengan kebijaksanaan yang sempurna,melihat semua mahluk di alam semesta adalah sama secara alami, semua binatang, dan manusia hidup bekerja sama, satu sama lain menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Lingkungan eksternal benar-benar terkotori oleh karena itu lingkungan internal benar          dirusak. Ketamakan telah mendorong umat manusia untuk mencukupi permintaan yang berlebihan, dan mengambilnya dalam persaingan yang tak ada akhirnya, mendorong ke arah perusakan diri dan lingkungan. Membandingkan pikiran yang tamak dan tak sehat dengan semangat hidup sederhana dan dengan puas berlatih seperti yang diajarkan Buddha.
Hidup dalam keselarasan bukan berarti penghapusan kebenaran dan pengetahuan, tetapi untuk tinggal dalam keselarasan dengan semua mahluk dan alam. Pada dasarnya bagi yang memahami pengajaran Buddha akan membatasi keakuan, untuk tinggal selaras dengan alam, tanpa merugikan lingkungan. Kemudian akan melihat tingkat mana yang sebaiknya diteliti dan dilindungi untuk digunakan pada masa datang oleh generasi berikutnya dan makhluk lain. Keserakhan yang berlebihan untuk memiliki segalanya bagi dirinya, atau untuk kelompok sendiri, membuat buta. Disiapkan untuk berkelahi, berperang, menyebabkan kematian, penyakit, kelaparan, membinasakan semua jenis makhluk hidup, secara berangsur-angsur memperburuk lingkungan hidup. Mencoba untuk memaksimalkan keuntungan, tanpa terkait dengan dampak eksplorasi negatif yang mendorong kearah penghabisan sumber alam, melepaskan zat beracun ke udara, air, bumi, mendorong ke arah polusi lingkungan, membinasakan keuntungan ekologis.
Banyak vihara hutan yang didirikan di pegunungan menunjukkan penyesuaian diri yang harmonis dengan alam,. Hidup tenang dalam hutan membantu praktek ajaran Buddhis untuk meningkatkan batin, dan pada waktu yang sama, juga melindungi binatang tinggal di daerah itu. Pengikut Buddha dengan pikiran yang bersikap toleran dan penuh kasih menyesuaikan diri dengan tumbuh-tumbuhan yang alami, binatang buas di hutan, dengan keselarasan dan berhubungan timbal balik. Orang menggunakan oksigen yang sebagian besar dihasilkan oleh pohon, dan sebagai imbalannya, orang memelihara pohon itu. Binatang buas mungkin datang untuk makan tanaman panenan yang ditanam oleh vihara tanpa memikirkan resiko untuk dibunuh. Buddhisme hidup harmonis dengan sepenuhnya, berbeda dari yang kompetitif, menentang kehidupan dan memberantas alam.
Keyakinan yang seksama, secara teknis nampak paham lingkungan merupakan suatu ungkapan efektif pada pandangan hidup Buddha. Mengundang untuk mempertimbangkan lima hubungan antara praktek dan kesehatan hidup secara umum. Hubungan dengan kesehatan, konsentrasi, etika, dan kebijaksanaan.
Hubungan dengan kesehatan: praktek adalah jalan meningkatkan kesehatan pribadi, dan menghubungkan kesehatan pribadi lingkungan. Praktek Buddha mengarahkan pikiran; itu sesungguhnya sebagai bentuk kesehatan mental. Kemudian kesehatan mental berpengaruh terhadap kesehatan phisik. Sedanglah melakukan kesehatan seseorang pribadi mempimpin tak bisa diacuhkan untuk suatu perhatian dengan kesehatan lingkungan. Bagaimana kesehatan makanan yang  kamu makan, air yang kamu minum, atau udara yang kamu hirup? sebagian besar jawaban, tergantung pada bagaimana lingkungan yang sehat. Adalah bukan sukar untuk melihat mengapa orang menjadi sangat peka terhadap kerusakan lingkungan: perbedaan antara dirimu dan lingkungan seperti menyesatkan sebagai perbedaan antara mengurus pikiran dan badan.
Hubungan dengan konsentrasi, belajar dari diri sendiri, dapat membersihkan pikiran; belajar dari diri sendiri, dapat membantu makhluk lain. Biarawan Zen berkata praktek adalah "tidak ada yang khusus"? tidak ada tambahan" Tujuan belajar Buddhisme bukan untuk belajar Buddhisme, tetapi untuk belajar diri sendiri," menurut Shunryu Suzuki, Master Zen dari Jepang. Pertanyaan yang sama menjadi dasar bekerja pada lingkungan, sebab banyak permasalahan lingkungan sedikitnya dapat dikurangi ke berbagai pilihan pribadi.
Kesusilaan adalah penting untuk praktek, dan kesusilaan menuntut suatu perhatian untuk  kesehatan makhluk lain. Buddha menjelaskan delapan usur jalan utama yaitu pandangan, pikiran, ucapan, perbuatan, pencaharian, usaha,  perhatian, dan konsentrasi yang benar.
Kebijaksanaan dapat menunjukkan hidup dan hidup dapat menunjukkan kebijaksanaan. Latihan ini  adalah salah satu dari tugas ekologi, studi bagaimana ekosistem berfungsi. Pemikiran lewat dari sini akan sungguh-sungguh menghasilkan kebijaksanaan, tetapi bukan jenis kebijaksanaan yang dicari dalam praktek Buddha. Ekologi, seperti umumnya ilmu pengetahuan lain, analitis, penerangan, pada sisi lain, cara terbaik diuraikan sebagai intuitif. Tetapi ilmu lingkungan, dengan memperhatikan hubungan antara hal-hal, yang dibangun semacam resonansi dari segi pandangan Buddha.
F. Penutup
Pengembangan kesadaran terhadap  lingkungan hidup didasarkan pada sikap mental, sebagai rangkaian hubungan sebab akibat yang saling bergantungan secara utuh. Melalui pengembangan batin yang berdasarkan kebijaksanaan, perilaku moral (sila), konsentrasi, dan belas kasih. Menyadari betapa pentingnya keterkaitan antara  manusia dengan lingkungan secara luas, sehingga manusia tidak dapat hidup sendiri. Menjaga keseimbangan antara dunia kecil (diri manusia) dan dunia besar (lingkungan yang luas).

Kepustakaan:
.Gnanarama, Petagama. 1996.An Approach to Buddhist Social Philosophy. Singapore:Ti-Sarana Buddhist Association.
Swear, Donal K,. 1998. Buddhisme and Ecology: Challenge and Promise. Swarthmore College: Center for Respect of Life and Environment.
 Thich Tri Quang. 1996. Buddhisme and Environmental Protection. (Online), (http://www.saigon.com/~anson/index.htm, diakses 8 Mei 2004)
 Wijaya-Mukti, Krisnanda.2003. Wacana Buddha Dharma. Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan         
http://jurnalnadi.bravehost.com/kesadaran_lingkungan.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar